Saturday 25 January 2014

PELUANG USAHA TERBARU TERNAK AYAM KAMPUNG

Mengenal ayam kampung

Ayam kampung begitu akrab dengan kehidupan masyarakat di berbagai daerah di Indonesia. Namun, hanya sedikit masyarakat yang mengenal ayam kampung dengan baik. Sebagian besar masyarakat hanya melihat ayam kampung dengan sepintas mata memandang, tetapi tidak banyak mengenal secara mendalam. Hal tersebut menjadi salah satu penyebab pengembangan dan pemeliharaan ayam kampung masih tertinggal dengan ayam ras.

Asal-Usul Ayam Kampung

Sebenarnya, ayam-ayam yang diternakkan (Callus domesticus) kini berasal dari ayam hutan di Asia Tenggara. Akan tetapi, Indonesia yang merupakan bagian dari Asi Tenggara, kini tidak memiliki sau pun bangsa unggas yang dapat diandalkan produktivitasnya. Dengan kemajuan pembangunan saat ini, ketinggalan itu dapat dikejar. Ini dibuktikan dengan semakin gencarnya penelitian-penelitian tentang ayam kampung di berbagai perguruan tinggi dan lembaga penelitian di Indonesia.
Ayam hutan (Callus varius-varius Linnaeus) merupakan nenek moyang ayam kampung yang umum dipelihara. Ayam hutan ini kemungkinan berasal dari pulau jawa. Akan tetapi, saat ini ayam hutan sudah tersebar sampai ke pulau Nusa Tenggara. Sifat ayam hutan akan sedikit ditinjau di sini sebagaimana yang diuraikan oleh Sastrapradja et al. (1977), karena ayam kampung yang ada kini masih menurunkan sifat-sifat asal nenek moyangnya. Oleh karena itu, varietas-varietas asal unggas hutan yang setengah liar ini dikenal dengan ayam kampung (Kingston, 1979).
Pada ayam hutan jantan, kepala dan punggungnya berwarna hitam kehijauan mengkilap. Tiap bulu pada pangkal ekor berwarna kekuningan. Ekornya hitam, panjang, pada ayam betina bulunya berwarna kecoklatan, Ekornya sedikit lebih pendek dibandingkan dengan panjang badannya.
Ayam hutan hidup di hutan terbuka atau di pegunungan pada ketinggian 1.000-1.500 meter dari permukaan laut. Kadang-kadang berkeliaran sampai ke perkebunan atau perladangan dan suka bergerombol. Yang jantan bersifat poligami.
Ayam hutan pandai terbang, tetapi lebih suka hidup dekat tanah untuk mencari makan. Makanannya berupa biji-bijian, serangga, semut, belalang, dan binatang-binatang kecil lainnya.
Masa kawin ayam hutan bervariasi, tergantung pada tempatnya. Di Jawa Timur terjadi antara bulan Maret sampai Juli. Sekali bertelur dihasilkan lima butir telur. Jumlah telur yang sedikit karena ayam hutan kelak harus mengasuh anaknya pada kondisi alam hutan bebas yang buas. Induk ayam akan merasa sulit dan bingung bila harus mengasuh anak terlalu banyak. Oleh karena itu, produktivitasnya disesuaikan dengan kondisi lingkungannya. Telur yang dihasilkan sedikit lebih kecil dari ayam kampung dan berwarna coklat muda kekuningan. Telur di letakan dalam sarang terbuka di atas tanah dan akan menetas setelah dierami selama tiga minggu.
Dari sifat-sifat ayam hutan yang diuraikan tersebut, banyak yang masih dimiliki oleh ayam kampung. Kecuali pada ayam kampung telurnya sedikit lebih besar dan lebih banyak daripada ayam hutan. Setelah menghasilkan dua belas butir telur, ayam kampung akan mengeram. Sementara itu, ayam hutan akan mengeram setelah menghasilkan lima butir telur.
Ayam kampung memiliki bulu yang bervariasi, mulai dari hitam, putih, kekuningan, kecoklaan, merah tua, dan kombinasi dari warna-warna itu. Bulu leher dan sayap ayam kampung jantan berwarna lurik kuning, bulu punggung dan dada berwarna lurik hitam, dan bulu ekor berwarna hitam kehijauan. Ayam kampung betina memiliki bulu leher, punggung, dan sayap berwarna lurik abu-abu, dulu dada berwarna putih, dan bulu ekor berwarna hitam keabuan (Moniharapon, 1997). Beberapa desa di Indonesia Mengaitkan warna ayam tersebut dengan kegiatan religius atau magic. Ayam ini seringkali di gunakan dalam acara menolak bala atau bencana. Warna hitam pada ayam jantan di beberapa tempat, digemari dan digunakan sebagai ayam aduan. Ayam kampung yang siap dan/atau sedang bertelur dengan warna coklat muda dan ujung bulunya sedikit hitam di beberapa tempa di jawa barat,cukup digemari. Konon, ayam jenis ini telurnya banyak dan dapat memelihara anaknya sendiri. Ayam kampung berwarna hitam dan berwarna putih digunakan sebagai salah satu sajian setiap ada acara (perkawinan, khitanan, dan lain-lain). Apabila ayam kampung tersebut diganti dengan ayam negri, acara tersebut menunjukan bahwa ayam kampung telah menjadi bagian hidup di daerah tersebut. Hal tersebut pula yang menunjukan bahwa kedudukan ayam kampung di hati masyarakat sebenarnya kuat. Badan ayam kampung keil, hampir sama dengan badan ayam ras petelur tipe ringan. Ayam kampung petelur maupun pedaging, bedanya tidak dapat dibedakan. Ayam kampung memang tidak dibedakan sebagai penghasil daging atau telur. Hal ini berbeda dengan ayam ras petelur. Ketika berumur empat bulan, badan ayam kampung mirip dengan badan ayam ras petelur tipe medium umur dua setengah bulan. Badan ayam kampung yang benar-benar telah dewasa mirip dengan badan babon yang telah tiga kali mengerami telurnya.
Produktivitas ayam kampung memang rendah, yaitu rata-rata 60 butir/tahun. Produktivitas ayam kampung yang optimum dapat dicapai pada kondisi thermoneutral zone, yaitu suhu lingkungan yang nyaman. Suhu lingkungan yang nyaman bagi ayam buras belum diketahui, tetapi diperkirakan berada pada kisaran suhu 18 derajat Celsius hingga 25 derajat. Ayam buras pada suhu lingkungan yang tinggi (25-31 drajat C) akan menunjukan penurunan produktivitas, yaitu produksi dan berat telur yang rendah, serta pertumbuhan yang lambat (Gunalvan dan Sihombing, 2006). Penurunan produksi telur pada suhu lingkungan tinggi dapat mencapai 25% bila dibandingkan dengan yang dipelihara pada suhu nyaman.
Berat badan ayam buras yang berumur 8 minggu juga berbeda yaitu 257 g/ekor pada suhu tinggi, sedangkan pada lingkungan nyaman dapat mencapai berat 427 g/ekor (Gunalvan dan Sihombing, 2006). Berat badan ayam jantan tua (jago) tidak lebih dari 1,9 kg; sedangkan berat badan betina lebih rendah lagi. Ayam tua seperti ini sudah tidak produktif lagi. Ayam yang sudah tidak produktif ini banyak di jual di pasar. Daging ayam ini biasanya lebih alot/keras dibandingkan dengan daging ayam kampung yang masih muda. Akan tetapi beberapa penduduk tertentu memang sengaja memilih ayam jago tua atau babon tua tersebut untuk dimasak. Hal ini karena untuk masakan tertentu, seperti rendang ayam membutuhkan proses perebusan yang cukup lama sehingga memerlukan ayam dengan daging yang agak keras seperti  ayam kampung tua sehingga daging tidak ancur setelah selesai proses pemasakan. Selain itu, memang ada sekelompok orang yang senang memakan daging ayam jago dan babon tua.
Setandar warna dan produktivitas ayam kampung sulit ditentukan serta tidak dapat dibakukan sebagai suatu pegangan. Ayam kampung dalam satu kelompok misalnya ada yang bertelur dengan rata-rata 60 butir/tahun, tetapi ayam lain dalam kelompok yang sama pada lingkungan dan asalnya sama, rata-rata bertelurnya tidak sama yaitu hanya 45 butir/tahun. Kemampuan ayam kampung tersebut sama dengan bangsa burung liar yang hidup di alam bebas. Misalnya, kemampuan bertelur ayam kampung ini hampir sama dengan kemampuan bertelur burung merpati dan burung kenari pertahunnya. Akan tetapi, kemampuan bertelur ayam kampung mirip dengan burung puyuh, yaitu bertelur terus menerus sebelum mengeram. Burug puyuh akan terus bertelur lagi setelah berhenti sebentar. Sementara itu, ayam kampung sedikit berbeda. Setelah mengahasilkan sekitar dua belas butir, kemudian ayam tersebut akan menunjukan sifat-sifat mengeram. Hal tersebut merupakan ciri produksi bangsa burung atau ayam setengah liar.
Ayam kampung memiliki bulu yang beragam. Warna bulu ayam kampung juga tidak dapat digunakan sebagai patokan yang baku karna warna bulu ini berubah secara terus menerus. Sebagai contoh, induk ayam kampung betina berwarna coklat bintil-bintil hitam dan induk jantannya berwarna kemerahan campur hitam, tetapi anak ayamnya dapat berbulu putih atau campuran pada anak yang lain.

0 komentar:

Post a Comment